Patofisiologi
Kontak intim antara orang yang rentan (tanpa antibodi melawan virus) dan seorang individual yang secara aktif melepaskan virus atau dengan cairan tubuh yang
mengandung virus adalah dibutuhkan untuk infeksi HSV untuk terjadi. Kontak harus melibatkan membran mukosa atau kulit yang terbuka atau terabrasi.
HSV menyerang dan bereplika di neuron dan juga dalam epidermal dan sel-sel dermal. Virions berjalan dari tempat awal infeksi pada kulit atau mukosa ke ganglion akar dorsal sensory, dimana latensi terbentuk. Replikasi viral dalam sensory ganglia membawa pada kekambuhan perjangkitan klinis.
HSV-1 reaktivasi paling efisien dari trigeminal ganglia (mempengaruhi muka dan oropharyngeal dan ocular mucosae), sedangkan HSV-2 memiliki reaktivasi yang lebih efisien dalam lumbosacral ganglia (mempengaruhi paha, pantat, genitalia, dan ekstrimitas bawah). Perbedaan klinis dalam reaktivasi spesifik-di tempat antara HSV-1 dan HSV-2 terlihat disebabkan, sebagian, pada masing-masing virus yang membentuk infeksi latent dalam populasi berbeda dari ganglionic neurons.
Pada episode I infeksi primer, virus dari luar masuk ke dalam tubuh hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Kemudian kulit tampak kem
erahan dan muncullah vesikel yang bergerombol dengan ukuran sama besar. Vesikel yang berisi cairan ini mudah pecah sehingga menimbulkan luka yang melebar. Bahkan ada kalanya kelenjar getah bening di sekitarnya membesar dan terasa nyeri bila diraba.
Beruntung bila terjadi kasus episode I non-infeksi primer. Artinya, infeksi sudah lama berlangsung, tetapi sebelum timbul gejala klinis tubuh sudah membentuk zat anti. Sehingga saat masuk episode I, kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer. Bila penderita pernah terkena HSV-1, antibodi HSV-1 sudah terbentuk, akibatnya infeksi HSV-2 akan lebih ringan dan sering muncul tanpa gejala. Namun, karena bersifat permanen, bila suatu ketika timbul faktor pencetus, virus akan aktif dan berkembang kembali mengakibatkan infeksi ulang. Saat itu, karena tubuh hospes sudah memiliki antibodi spesifik, kelainan yang timbul dan gejalanya mungkin tidak seberat infeksi primer.
Faktor Predisposisi
Adapun faktor pencetus kambuhnya herpes antara lain trauma (luka), hubungan seksual berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres, kelelahan, alkohol, obat-obatan, haid (pada wanita), serta sinar ultraviolet. Dibandingkan dengan gejala klinis serangan primer yang akan hilang setelah dua minggu, gejala serangan ulang ini sudah hilang dalam waktu 7-10 hari. Frekuensi rata-rata kambuh gejala infeksi HSV sekitar empat kali per tahun (John et al, 1993), meski ada juga yang mengalami hingga lebih dari 12 kali setahun.
Herpes genitalis pada orang dengan imunodefisiensi (gangguan fungsi kekebalan tubuh) bisa berakibat cukup progresif berupa lesi (semacam luka) dalam, bahkan lebih luas,
pada daerah sekitar kelamin dan dubur. Namun pada imunodefisiensi ringan keluhan yang muncul berupa tingginya frekuensi kambuh dengan penyembuhan lebih lama.
Jenis Kelamin
Frekuensi antibodi HSV-1 dan HSV-2 adalah sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Bagaimanapun, wanita adalah lebih mungkin dibandingkan pria untuk dilindungi dari infeksi HSV genital dengan penggunaan metode penghalang.
Dalam studi lebih dari 600 wanita hamil, 63% adalah seropositive untuk HSV-1, 22% untuk HSV-2, dan 13% untuk keduanya, dan 28% adalah seronegative. Ras non kulit putih dan memiliki 4 atau lebih pasangan seks secara independen terkait dengan peningkatan infeksi HSV-2. Bagaimanapun, grup ini memiliki resiko tertinggi memiliki anak dengan herpes neonatal, yang menunjukkan kerentanan mereka untuk infeksi HSV baru selama trimester kehamilan ketiga mereka (ketika seorang ibu adalah paling mungkin untuk menularkan infeksi pada bayinya).
Usia
Frekuensi infeksi HSV-1 pada anak beragam dengan status sosial ekonomi. Kurang lebih, sepertiga anak dari keluarga sosial ekonomi rendah menunjukkan beberapa bukti infeksi HSV-1 pada usia 5 tahun. Frekuensi meningkat hingga 70-80% oleh awal remaja/orang dewasa awal. Berlawanan dengan itu, hanya 20% anak dari keluarga kelas menengah seroconvert. Frekuensi infeksi tetap agak stabil sampai dekade kedua hingga ketiga kehidupan ketika ini meningkat hingga 40-60%. Rate seroconversion HSV-2 adalah tertinggi dalam orang dewasa muda aktif.
Gejala
Pada pria gejala lebih jelas karena tumbuh pada kulit bagian luar kelenjar penis, batang penis termasuk kulit depan penis yang tidak disunat, buah zakar, dan di sekitar anus atau di dalam rektum. Sebaliknya, pada wanita gejala itu sulit terdeteksi karena letaknya tersembunyi. Herpes genitalis pada wanita biasanya menyerang bagian labia majora, labia minora, klitoris, bahkan leher rahim (serviks) tanpa gejala klinis.
Pada awalnya, mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi, penderita akan merasakan gejala seperti tidak enak badan, demam, sakit kepala, kelelahan, serta sakit otot, terutama di bagian kaki. Dilanjutkan dengan rasa gatal dan agak panas seperti ditusuk-tusuk pada bagian kulit yang ditumbuhi vesicle (gelembung) bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng.
Penderita bisa mengalami kesulitan dalam berkemih dan ketika berjalan akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya.
Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir.
Diagnosis
Secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritem dan bersifat rekuren. Gejala dan tanda dihubungkan dengan HSV-2.
diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisis jika gejalanya khas dan melalui pengambilan contoh dari luka (lesi) dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tes darah yang mendeteksi HSV-1 dan HSV-2 dapat menolong meskipun hasilnya tidak terlalu memuaskan. Virus kadangkala, namun tak selalu, dapat dideteksi lewat tes laboratorium yaitu kultur. Kultur dikerjakan dengan menggunakan swab untuk memperoleh material yang akan dipelajari dari luka yang dicurigai sebagai herpes. (1,11,12)
Pada stadium dini erupsi vesikel sangat khas, akan tetapi pada stadium yang lanjut tidak khas lagi, penderita harus dideteksi dengan kemungkinan penyakit lain, termasuk chancroid dan kandidiasis. Konfirmasi virus dapat dilakukan melalui mikroskop elektron atau kultur jaringan. Komplikasi yang timbul pada penyakit herpes genitalis anatara lain neuralgia, retensi urine, meningitis aseptik dan infeksi anal. Sedangkan komplikasi herpes genitalis pada kehamilan dapat menyebabkan abortus pada kehamilan trimester pertama, partus prematur dan pertumbuhan janin terhambat pada trimester kedua kehamilan dan pada neonatus dapat terjadi lesi kulit, ensefalitis, makrosefali dan keratokonjungtivitis. Herpes genital primer HSV 2 dan infeksi HSV-1 ditandai oleh kekerapan gejala lokal dan sistemik prolong. Demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia dilaporkan mendekati 40 % dari kaum pria dan 70% dari wanita dengan penyakit HSV-2 primer. Berbeda dengan infeksi genital episode pertama, gejala, tanda dan lokasi anatomi infeksi rekuren terlokalisir pada genital (1,4,7,14)
Perawatan Medis
· Sebagian besar infeksi HSV adalah terbatas-sendiri. Bagaimanapun, terapi antiviral memperpendek jalannya gejala dan bisa mencegah penyebaran dan transmisi.
· Pengobatan antiviral intravena, oral dan topical adalah tersedia untuk treatment HSV dan adalah paling efektif jika digunakan pada permulaan gejala. Terapi oral bisa diberikan dalam waktu episode atau sebagai terapi suppresif kronis.
ü Treatment herpes labialis dan herpes genitalis secara umum terdiri dari episodic course acyclovir oral, prodrug valacyclovir, dan famciclovir. Pengobatan antiviral oral, acyclovir, valacyclovir, dan famciclovir, bisa digunakan (off label) sebagai terapi untuk kondisi HSV tidak rumit lainnya (contohnya, herpes whitlow), dan dosis yang sama seperti yang digunakan untuk treatment herpes genitalis adalah umumnya direkomendasikan.
ü Treatment topical yang tersedia secara komersial untuk herpes adalah jauh kurang efektif dibandingkan terapi oral.
ü Infeksi HSV rumit, cutaneous dan/atau penyebaran visceral, HSV neonatal, dan infeksi parah dalam mereka yang immunocompromised seharusnya segera ditangani dengan intravenous acyclovir.
ü Pada pasien yang immunocompromised dan mengalami infeksi HSV kambuh, turunan HSV acyclovir-resistant telah diidentifikasi, dan treatment dengan foscarnet intravena atau cidofovir bisa digunakan. Penggunaan topical foscarnet juga telah dilaporkan.
Pencegahan
· Pelepasan viral HSV adalah paling besar selama perjangkitan; bagaimanapun, transmisi dari individual yang seropositive pada pasangan mereka yang seronegative biasanya terjadi selama periode pelepasan HSV tanpa gejala. Oleh karena itu, mencegah trasmisi membutuhkan lebih banyak dibandingkan abstaining dari kontak intim selama perjangkitan.
ü Metode penghalang, seperti kondom, memberi 10-15% perlindungan melawan penularan genital herpes, dimana transmisi bisa terjadi dan dari permukaan mucocutaneous yang tidak tertutup atau jika integritas dari penghalang dikompromi. Kondom juga telah ditunjukkan jadi paling efektif dalam melindungi wanita dibandingkan pria.
ü Beragam vaksin HSV telah dan berlanjut untuk dibawah penyelidikan untuk treatment dan pencegahan herpes genitalis, meskipun sebagian besar belum ditunjukkan untuk jadi efektif. Sekarang ini, percobaan acak buta-ganda dari sebuah vaksin D HSV-2 glycoprotein menunjukkan bahwa vaksin memberikan perlindungan terhadap virus pada wanita yang secara serologi negatif untuk baik HSV-1 dan HSV-2. Bagaimanapun, ini tidak mencegah infeksi HSV pada pria disamping serostatus mereka atau pada wanita yang positif untuk HSV-1 tetapi negatif untuk HSV-2.
ü Terapi supresif jangka-panjang untuk genital herpes telah ditunjukkan untuk menurunkan pelepasan HSV tanpa gejala, dan terapi valacyclovir jangka-panjang secara signifikan menurunkan transmisi HSV untuk patner rentan dari individual yang positif HSV-2 oleh 50-77%. Acyclovir dan famciclovir telah ditunjukkan sebagai sama efektifnya dengan valacyclovir untuk supresi kekambuhan. Pertimbangan untuk penempatan seorang pasien pada terapi supresif jangka-panjang termasuk perjangkitan sering dan/atau parah, infeksi dalam seorang pasien yang immunocompromised, jenis kelamin pasien, serostatus HSV pasien, dan kemampuan reproduktif dari pasangan pasien.
ü Infeksi HIV dari pasien HSV atau patner seronegativenya seharusnya dipertimbangkan sebuah indikasi memungkinkan untuk supresi, memberikan peningkatan yang diajukan dalam muatan viral HIV, meskipun terapi supresif HSV belum ditunjukkan untuk memiliki efek pada pelepasan viral HIV-1.
· Wanita yang HSV-2 negatif seharusnya berkonsultasi untuk abstain dari hubungan intim selama trimester ketiga kehamilan dengan pasangan yang bisa jadi seropositive karena infeksi HSV primer selama waktu ini menempatkan janin pada resiko infeksi tertinggi.
ü Pendekatan yang paling umum dalam usaha untuk mencegah transmisi vertikal adalah untuk membuat wanita dengan luka HSV terlihat secara klinis selama persalinan dengan operasi caesar. Bagaimanapun, persalinan caesar tidak mencegah semua kasus dari infeksi neonatal karena dalam utero infeksi terjadi dan kultur HSV antepartum adalah bukan sebuah prediktor yang baik dari infeksi neonatal.
ü Penggunaan acyclovir 400 mg PO tid selama trimester ketiga kehamilan telah terbukti aman dan efektif dalam mencegah herpes neonatal dan dalam menghilangkan kebutuhan untuk persalinan caesar.
Komplikasi
· Komplikasi yang paling umum dari infeksi HSV adalah superinfeksi bakteri. Pada wanita dengan infeksi HSV-2 primer, meningitis aseptic adalah juga umum.
· Komplikasi signifikan, seperti penyebaran visceral dan CNS dan sequelae jangka-panjang, adalah jarang dan terjadi dalam pasien yang immunocompromised atau dalam kasus HSV neonatal.
ü Pasien penderita AIDS yang ditangani dengan acyclovir intravena bisa mengembangkan turunan thymidine kinase-negatif dari HSV yang resistent pada acyclovir. Pasien ini bisa jadi secara berhasil ditangani dengan foscarnet intravena atau topical cidofovir.
ü Bayi yang terlahir dengan infeksi HSV genital seharusnya secara erat dimonitor untuk berbagai tanda-tanda infeksi dan segera ditangani jika tanda-tanda dari penyakit berkembang. Infeksi HSV neonatal memiliki tingkat mortalitas lebih dari 80% jika tidak ditangani dan sebuah tingkat morbiditas mortalitas/signifikan dari kurang lebih 50% bahkan ketika ditangani.
Prognosis
Kematian oleh infeksi HSV jarang terjadi. Infeksi inisial dini yang segera diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat dibatasi frekuensi kambuhnya. Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa. Terapi antivirus efektif menurunkan manifestasi klinis herpes genitalis.(1,3,4)
· Untuk sebagian besar orang, infeksi HSV adalah sementara dan mereda tanpa sequelae memburuk; bagaimanapun, kekambuhan adalah umum.
· Kelanjutan jangka-panjang (biasanya CNS) adalah lebih umum dengan infeksi HSV neonatal dibandingkan tipe lainnya dari infeksi HSV. Gurat bisa terjadi dari luka parah atau superinfeksi.
Pengobatan
Sampai sekarang belum ada obat yang memuaskan untuk terapi herpes genitalis, namun pengobatan secara umum perlu diperhatikan, seperti: menjaga kebersihan lokal, menghindari trauma atau faktor pencetus.(11). Penggunaan idoxuridine mengobati lesi herpes simpleks secara lokal sebesar 5% sampai 40% dalam dimethyl sulphoxide sangat bermanfaat. Namun, pengobatan ini memiliki beberapa efek samping, di antaranya pasien akan mengalami rasa nyeri hebat, maserasi kulit dapat juga terjadi.(14). Meskipun tidak ada obat herpes genital, penyediaan layanan kesehatan anda akan meresepkan obat anti viral untuk menangani gejala dan membantu mencegah terjadinya outbreaks. Hal ini akan mengurangi resiko menularnya herpes pada partner seksual. Obat-obatan untuk menangani herpes genital adalah:(12)
§ Asiklovir (Zovirus), Famsiklovir, Valasiklovir (Valtres) Asiklovir. Pada infeksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg BB/8 jam selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama 10-14 hari) dan asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dsapat mengurangi lamanya gejala dan ekskresi virus serta mempercepat penyembuhan.(4,5)
§ ValasiklovirValasiklovir adalah suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan hampir lengkap berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan meningkatkan bioavaibilitas asiklovir sampai 54%.oleh karena itu dosis oral 1000 mg valasiklovir menghasilkan kadar obat dalam darah yang sama dengan asiklovir intravena. Valasiklovir 1000 mg telah dibandingkan asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama 10 hari untuk terapi herpes genitalis episode awal.(4,5,9)
§ FamsiklovirAdalah jenis pensiklovir, suatu analog nukleosida yang efektif menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2. Sama dengan asiklovir, pensiklovir memerlukan timidin kinase virus untuk fosforilase menjadi monofosfat dan sering terjadi resistensi silang dengan asiklovir. Waktu paruh intrasel pensiklovir lebih panjang daripada asiklovir (>10 jam) sehingga memiliki potensi pemberian dosis satu kali sehari. Absorbsi peroral 70% dan dimetabolisme dengan cepat menjadi pensiklovir. Obat ini di metabolisme dengan baik.(4,5)
Herpes genitalis adalah kondisi umum terjadi yang dapat membuat penderitanya tertekan. Pada penelitian in vitro yang dilakukan Plotkin (1972), Amstey dan Metcalf (1975), serta penelitian in vivo oleh Friedrich dan Matsukawa (1975), povidone iodine terbukti merupakan agen efektif melawan virus tersebut. Friedrich dan Matsukawa juga mendapatkan hasil memuaskan secara klinis dari povidone iodine dalam larutan aqua untuk mengobati herpes genital. (15) Pusat pengawasan dan pencegahan penyakit/ CDC (Center For Disease Control and Prevention), merekomendasikan penanganan supresif bagi herpes genital untuk orang yang mengalami enam kali atau lebih outbreak per tahun.(16)
Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus dengan cara sectio caesaria bila pada saat melahirkan diketahui ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketuban pecah atau paling lambat 6 jam setelah ketuban pecah. Pemakaian asiklovir pada ibu hamil tidak dianjurkan. (3,10) Sejauh ini pilihan sectio caesaria itu cukup tinggi dan studi yang dilakukan menggarisbawahi apakah penggunaan antiviral rutin efektif menurunkan herpes genital yang subklinis, namun hingga studi tersebut selesai, tak ada rekomendasi yang dapat diberikan. (7)
Kontak intim antara orang yang rentan (tanpa antibodi melawan virus) dan seorang individual yang secara aktif melepaskan virus atau dengan cairan tubuh yang

HSV menyerang dan bereplika di neuron dan juga dalam epidermal dan sel-sel dermal. Virions berjalan dari tempat awal infeksi pada kulit atau mukosa ke ganglion akar dorsal sensory, dimana latensi terbentuk. Replikasi viral dalam sensory ganglia membawa pada kekambuhan perjangkitan klinis.
HSV-1 reaktivasi paling efisien dari trigeminal ganglia (mempengaruhi muka dan oropharyngeal dan ocular mucosae), sedangkan HSV-2 memiliki reaktivasi yang lebih efisien dalam lumbosacral ganglia (mempengaruhi paha, pantat, genitalia, dan ekstrimitas bawah). Perbedaan klinis dalam reaktivasi spesifik-di tempat antara HSV-1 dan HSV-2 terlihat disebabkan, sebagian, pada masing-masing virus yang membentuk infeksi latent dalam populasi berbeda dari ganglionic neurons.
Pada episode I infeksi primer, virus dari luar masuk ke dalam tubuh hospes (penerima virus). Selanjutnya, terjadilah penggabungan virus dengan DNA hospes, mengadakan multiplikasi atau replikasi sehingga menimbulkan kelainan pada kulit. Virus akan menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf dan berdiam secara permanen dan bersifat laten. Kemudian kulit tampak kem

Beruntung bila terjadi kasus episode I non-infeksi primer. Artinya, infeksi sudah lama berlangsung, tetapi sebelum timbul gejala klinis tubuh sudah membentuk zat anti. Sehingga saat masuk episode I, kelainan yang timbul tidak seberat episode I dengan infeksi primer. Bila penderita pernah terkena HSV-1, antibodi HSV-1 sudah terbentuk, akibatnya infeksi HSV-2 akan lebih ringan dan sering muncul tanpa gejala. Namun, karena bersifat permanen, bila suatu ketika timbul faktor pencetus, virus akan aktif dan berkembang kembali mengakibatkan infeksi ulang. Saat itu, karena tubuh hospes sudah memiliki antibodi spesifik, kelainan yang timbul dan gejalanya mungkin tidak seberat infeksi primer.
Faktor Predisposisi
Adapun faktor pencetus kambuhnya herpes antara lain trauma (luka), hubungan seksual berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stres, kelelahan, alkohol, obat-obatan, haid (pada wanita), serta sinar ultraviolet. Dibandingkan dengan gejala klinis serangan primer yang akan hilang setelah dua minggu, gejala serangan ulang ini sudah hilang dalam waktu 7-10 hari. Frekuensi rata-rata kambuh gejala infeksi HSV sekitar empat kali per tahun (John et al, 1993), meski ada juga yang mengalami hingga lebih dari 12 kali setahun.
Herpes genitalis pada orang dengan imunodefisiensi (gangguan fungsi kekebalan tubuh) bisa berakibat cukup progresif berupa lesi (semacam luka) dalam, bahkan lebih luas,

Jenis Kelamin
Frekuensi antibodi HSV-1 dan HSV-2 adalah sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria. Bagaimanapun, wanita adalah lebih mungkin dibandingkan pria untuk dilindungi dari infeksi HSV genital dengan penggunaan metode penghalang.
Dalam studi lebih dari 600 wanita hamil, 63% adalah seropositive untuk HSV-1, 22% untuk HSV-2, dan 13% untuk keduanya, dan 28% adalah seronegative. Ras non kulit putih dan memiliki 4 atau lebih pasangan seks secara independen terkait dengan peningkatan infeksi HSV-2. Bagaimanapun, grup ini memiliki resiko tertinggi memiliki anak dengan herpes neonatal, yang menunjukkan kerentanan mereka untuk infeksi HSV baru selama trimester kehamilan ketiga mereka (ketika seorang ibu adalah paling mungkin untuk menularkan infeksi pada bayinya).

Frekuensi infeksi HSV-1 pada anak beragam dengan status sosial ekonomi. Kurang lebih, sepertiga anak dari keluarga sosial ekonomi rendah menunjukkan beberapa bukti infeksi HSV-1 pada usia 5 tahun. Frekuensi meningkat hingga 70-80% oleh awal remaja/orang dewasa awal. Berlawanan dengan itu, hanya 20% anak dari keluarga kelas menengah seroconvert. Frekuensi infeksi tetap agak stabil sampai dekade kedua hingga ketiga kehidupan ketika ini meningkat hingga 40-60%. Rate seroconversion HSV-2 adalah tertinggi dalam orang dewasa muda aktif.
Gejala
Pada pria gejala lebih jelas karena tumbuh pada kulit bagian luar kelenjar penis, batang penis termasuk kulit depan penis yang tidak disunat, buah zakar, dan di sekitar anus atau di dalam rektum. Sebaliknya, pada wanita gejala itu sulit terdeteksi karena letaknya tersembunyi. Herpes genitalis pada wanita biasanya menyerang bagian labia majora, labia minora, klitoris, bahkan leher rahim (serviks) tanpa gejala klinis.
Pada awalnya, mulai timbul pada hari ke 4-7 setelah terinfeksi, penderita akan merasakan gejala seperti tidak enak badan, demam, sakit kepala, kelelahan, serta sakit otot, terutama di bagian kaki. Dilanjutkan dengan rasa gatal dan agak panas seperti ditusuk-tusuk pada bagian kulit yang ditumbuhi vesicle (gelembung) bercak kemerahan yang kecil, yang diikuti oleh sekumpulan lepuhan kecil yang terasa nyeri. Lepuhan ini pecah dan bergabung membentuk luka yang melingkar. Luka yang terbentuk biasanya menimbulkan nyeri dan membentuk keropeng.
Penderita bisa mengalami kesulitan dalam berkemih dan ketika berjalan akan timbul nyeri. Luka akan membaik dalam waktu 10 hari tetapi bisa meninggalkan jaringan parut. Kelenjar getah bening selangkangan biasanya agak membesar. Gejala awal ini sifatnya lebih nyeri, lebih lama dan lebih meluas dibandingkan gejala berikutnya.
Pada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya penderita infeksi HIV), luka herpes bisa sangat berat, menyebar ke bagian tubuh lainnya, menetap selama beberapa minggu atau lebih dan resisten terhadap pengobatan dengan asiklovir.
Diagnosis
Secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel berkelompok dengan dasar eritem dan bersifat rekuren. Gejala dan tanda dihubungkan dengan HSV-2.

Pada stadium dini erupsi vesikel sangat khas, akan tetapi pada stadium yang lanjut tidak khas lagi, penderita harus dideteksi dengan kemungkinan penyakit lain, termasuk chancroid dan kandidiasis. Konfirmasi virus dapat dilakukan melalui mikroskop elektron atau kultur jaringan. Komplikasi yang timbul pada penyakit herpes genitalis anatara lain neuralgia, retensi urine, meningitis aseptik dan infeksi anal. Sedangkan komplikasi herpes genitalis pada kehamilan dapat menyebabkan abortus pada kehamilan trimester pertama, partus prematur dan pertumbuhan janin terhambat pada trimester kedua kehamilan dan pada neonatus dapat terjadi lesi kulit, ensefalitis, makrosefali dan keratokonjungtivitis. Herpes genital primer HSV 2 dan infeksi HSV-1 ditandai oleh kekerapan gejala lokal dan sistemik prolong. Demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia dilaporkan mendekati 40 % dari kaum pria dan 70% dari wanita dengan penyakit HSV-2 primer. Berbeda dengan infeksi genital episode pertama, gejala, tanda dan lokasi anatomi infeksi rekuren terlokalisir pada genital (1,4,7,14)
Perawatan Medis

· Sebagian besar infeksi HSV adalah terbatas-sendiri. Bagaimanapun, terapi antiviral memperpendek jalannya gejala dan bisa mencegah penyebaran dan transmisi.
· Pengobatan antiviral intravena, oral dan topical adalah tersedia untuk treatment HSV dan adalah paling efektif jika digunakan pada permulaan gejala. Terapi oral bisa diberikan dalam waktu episode atau sebagai terapi suppresif kronis.
ü Treatment herpes labialis dan herpes genitalis secara umum terdiri dari episodic course acyclovir oral, prodrug valacyclovir, dan famciclovir. Pengobatan antiviral oral, acyclovir, valacyclovir, dan famciclovir, bisa digunakan (off label) sebagai terapi untuk kondisi HSV tidak rumit lainnya (contohnya, herpes whitlow), dan dosis yang sama seperti yang digunakan untuk treatment herpes genitalis adalah umumnya direkomendasikan.
ü Treatment topical yang tersedia secara komersial untuk herpes adalah jauh kurang efektif dibandingkan terapi oral.
ü Infeksi HSV rumit, cutaneous dan/atau penyebaran visceral, HSV neonatal, dan infeksi parah dalam mereka yang immunocompromised seharusnya segera ditangani dengan intravenous acyclovir.
ü Pada pasien yang immunocompromised dan mengalami infeksi HSV kambuh, turunan HSV acyclovir-resistant telah diidentifikasi, dan treatment dengan foscarnet intravena atau cidofovir bisa digunakan. Penggunaan topical foscarnet juga telah dilaporkan.
Pencegahan
· Pelepasan viral HSV adalah paling besar selama perjangkitan; bagaimanapun, transmisi dari individual yang seropositive pada pasangan mereka yang seronegative biasanya terjadi selama periode pelepasan HSV tanpa gejala. Oleh karena itu, mencegah trasmisi membutuhkan lebih banyak dibandingkan abstaining dari kontak intim selama perjangkitan.
ü Metode penghalang, seperti kondom, memberi 10-15% perlindungan melawan penularan genital herpes, dimana transmisi bisa terjadi dan dari permukaan mucocutaneous yang tidak tertutup atau jika integritas dari penghalang dikompromi. Kondom juga telah ditunjukkan jadi paling efektif dalam melindungi wanita dibandingkan pria.
ü Beragam vaksin HSV telah dan berlanjut untuk dibawah penyelidikan untuk treatment dan pencegahan herpes genitalis, meskipun sebagian besar belum ditunjukkan untuk jadi efektif. Sekarang ini, percobaan acak buta-ganda dari sebuah vaksin D HSV-2 glycoprotein menunjukkan bahwa vaksin memberikan perlindungan terhadap virus pada wanita yang secara serologi negatif untuk baik HSV-1 dan HSV-2. Bagaimanapun, ini tidak mencegah infeksi HSV pada pria disamping serostatus mereka atau pada wanita yang positif untuk HSV-1 tetapi negatif untuk HSV-2.
ü Terapi supresif jangka-panjang untuk genital herpes telah ditunjukkan untuk menurunkan pelepasan HSV tanpa gejala, dan terapi valacyclovir jangka-panjang secara signifikan menurunkan transmisi HSV untuk patner rentan dari individual yang positif HSV-2 oleh 50-77%. Acyclovir dan famciclovir telah ditunjukkan sebagai sama efektifnya dengan valacyclovir untuk supresi kekambuhan. Pertimbangan untuk penempatan seorang pasien pada terapi supresif jangka-panjang termasuk perjangkitan sering dan/atau parah, infeksi dalam seorang pasien yang immunocompromised, jenis kelamin pasien, serostatus HSV pasien, dan kemampuan reproduktif dari pasangan pasien.
ü Infeksi HIV dari pasien HSV atau patner seronegativenya seharusnya dipertimbangkan sebuah indikasi memungkinkan untuk supresi, memberikan peningkatan yang diajukan dalam muatan viral HIV, meskipun terapi supresif HSV belum ditunjukkan untuk memiliki efek pada pelepasan viral HIV-1.
· Wanita yang HSV-2 negatif seharusnya berkonsultasi untuk abstain dari hubungan intim selama trimester ketiga kehamilan dengan pasangan yang bisa jadi seropositive karena infeksi HSV primer selama waktu ini menempatkan janin pada resiko infeksi tertinggi.
ü Pendekatan yang paling umum dalam usaha untuk mencegah transmisi vertikal adalah untuk membuat wanita dengan luka HSV terlihat secara klinis selama persalinan dengan operasi caesar. Bagaimanapun, persalinan caesar tidak mencegah semua kasus dari infeksi neonatal karena dalam utero infeksi terjadi dan kultur HSV antepartum adalah bukan sebuah prediktor yang baik dari infeksi neonatal.
ü Penggunaan acyclovir 400 mg PO tid selama trimester ketiga kehamilan telah terbukti aman dan efektif dalam mencegah herpes neonatal dan dalam menghilangkan kebutuhan untuk persalinan caesar.
Komplikasi
· Komplikasi yang paling umum dari infeksi HSV adalah superinfeksi bakteri. Pada wanita dengan infeksi HSV-2 primer, meningitis aseptic adalah juga umum.
· Komplikasi signifikan, seperti penyebaran visceral dan CNS dan sequelae jangka-panjang, adalah jarang dan terjadi dalam pasien yang immunocompromised atau dalam kasus HSV neonatal.
ü Pasien penderita AIDS yang ditangani dengan acyclovir intravena bisa mengembangkan turunan thymidine kinase-negatif dari HSV yang resistent pada acyclovir. Pasien ini bisa jadi secara berhasil ditangani dengan foscarnet intravena atau topical cidofovir.
ü Bayi yang terlahir dengan infeksi HSV genital seharusnya secara erat dimonitor untuk berbagai tanda-tanda infeksi dan segera ditangani jika tanda-tanda dari penyakit berkembang. Infeksi HSV neonatal memiliki tingkat mortalitas lebih dari 80% jika tidak ditangani dan sebuah tingkat morbiditas mortalitas/signifikan dari kurang lebih 50% bahkan ketika ditangani.
Prognosis
Kematian oleh infeksi HSV jarang terjadi. Infeksi inisial dini yang segera diobati mempunyai prognosis lebih baik, sedangkan infeksi rekuren hanya dapat dibatasi frekuensi kambuhnya. Pada orang dengan gangguan imunitas, misalnya penyakit-penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan imunosupresan yang lama, menyebabkan infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan fatal. Prognosis akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang dewasa. Terapi antivirus efektif menurunkan manifestasi klinis herpes genitalis.(1,3,4)
· Untuk sebagian besar orang, infeksi HSV adalah sementara dan mereda tanpa sequelae memburuk; bagaimanapun, kekambuhan adalah umum.
· Kelanjutan jangka-panjang (biasanya CNS) adalah lebih umum dengan infeksi HSV neonatal dibandingkan tipe lainnya dari infeksi HSV. Gurat bisa terjadi dari luka parah atau superinfeksi.
Pengobatan
Sampai sekarang belum ada obat yang memuaskan untuk terapi herpes genitalis, namun pengobatan secara umum perlu diperhatikan, seperti: menjaga kebersihan lokal, menghindari trauma atau faktor pencetus.(11). Penggunaan idoxuridine mengobati lesi herpes simpleks secara lokal sebesar 5% sampai 40% dalam dimethyl sulphoxide sangat bermanfaat. Namun, pengobatan ini memiliki beberapa efek samping, di antaranya pasien akan mengalami rasa nyeri hebat, maserasi kulit dapat juga terjadi.(14). Meskipun tidak ada obat herpes genital, penyediaan layanan kesehatan anda akan meresepkan obat anti viral untuk menangani gejala dan membantu mencegah terjadinya outbreaks. Hal ini akan mengurangi resiko menularnya herpes pada partner seksual. Obat-obatan untuk menangani herpes genital adalah:(12)
§ Asiklovir (Zovirus), Famsiklovir, Valasiklovir (Valtres) Asiklovir. Pada infeksi HVS genitalis primer, asiklovir intravena (5 mg/kg BB/8 jam selama 5 hari), asiklovir oral 200 mg (5 kali/hari saelama 10-14 hari) dan asiklovir topikal (5% dalam salf propilen glikol) dsapat mengurangi lamanya gejala dan ekskresi virus serta mempercepat penyembuhan.(4,5)
§ ValasiklovirValasiklovir adalah suatu ester dari asiklovir yang secara cepat dan hampir lengkap berubah menjadi asiklovir oleh enzim hepar dan meningkatkan bioavaibilitas asiklovir sampai 54%.oleh karena itu dosis oral 1000 mg valasiklovir menghasilkan kadar obat dalam darah yang sama dengan asiklovir intravena. Valasiklovir 1000 mg telah dibandingkan asiklovir 200 mg 5 kali sehari selama 10 hari untuk terapi herpes genitalis episode awal.(4,5,9)
§ FamsiklovirAdalah jenis pensiklovir, suatu analog nukleosida yang efektif menghambat replikasi HSV-1 dan HSV-2. Sama dengan asiklovir, pensiklovir memerlukan timidin kinase virus untuk fosforilase menjadi monofosfat dan sering terjadi resistensi silang dengan asiklovir. Waktu paruh intrasel pensiklovir lebih panjang daripada asiklovir (>10 jam) sehingga memiliki potensi pemberian dosis satu kali sehari. Absorbsi peroral 70% dan dimetabolisme dengan cepat menjadi pensiklovir. Obat ini di metabolisme dengan baik.(4,5)
Herpes genitalis adalah kondisi umum terjadi yang dapat membuat penderitanya tertekan. Pada penelitian in vitro yang dilakukan Plotkin (1972), Amstey dan Metcalf (1975), serta penelitian in vivo oleh Friedrich dan Matsukawa (1975), povidone iodine terbukti merupakan agen efektif melawan virus tersebut. Friedrich dan Matsukawa juga mendapatkan hasil memuaskan secara klinis dari povidone iodine dalam larutan aqua untuk mengobati herpes genital. (15) Pusat pengawasan dan pencegahan penyakit/ CDC (Center For Disease Control and Prevention), merekomendasikan penanganan supresif bagi herpes genital untuk orang yang mengalami enam kali atau lebih outbreak per tahun.(16)
Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus dengan cara sectio caesaria bila pada saat melahirkan diketahui ibu menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketuban pecah atau paling lambat 6 jam setelah ketuban pecah. Pemakaian asiklovir pada ibu hamil tidak dianjurkan. (3,10) Sejauh ini pilihan sectio caesaria itu cukup tinggi dan studi yang dilakukan menggarisbawahi apakah penggunaan antiviral rutin efektif menurunkan herpes genital yang subklinis, namun hingga studi tersebut selesai, tak ada rekomendasi yang dapat diberikan. (7)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar